Jumat, 03 Maret 2017

Proses Perubahan Negara Republik Indonesia Serikat Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia

One of important periods in Indonesian history is physical revolution  that’s   known   as  freedom war. The result is change of statecraft on Indonesia. Bases on  UUD’45  as  constitution  of  state, Indonesia use unity state formation.  But, periods Indonesia had  to  use  federal  state  formation. These article  would  described                                                       change  of  state  formation  from  federal  back  to  unity   state formation in middle of 1950.


Key words: State formation, federal, and unity.


Awal tahun 1950  merupakan  periode  krusial  bagi  Indonesia.  Pertentangan  dan  konflik  untuk menentukan bentuk negara bagi Bangsa dan Negara Indonesia tengah berlangsung. Pada satu  sisi, secara resmi  saat   itu   Indonesia   merupakan   negara   federal,   sebagaimana   hasil   perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Akan tetapi, pada saat  yang  bersamaan  muncul  gerakan  yang menentang keberadaan negara federal itu. Gerakan ini  eksis  bukan  saja  di  kalangan  elit,  tetapi juga di  kalangan  masyarkat  bawah.  Gerakan  tersebut  menghendaki  diubahnya  bentuk  negara federal menjadi negara kesatuan.
Oleh banyak pengamat luar negeri gerakan  itu  dianggap  terlalu  dini,  tergesa-gesa,  tidak perlu dan  agak  angkuh.  Pandangan  seperti   itu  muncul,  karena  gerakan  kaum  republiken  itu dianggap tidak memperhatikan semangat dan fasilitas yang  ada  dalam  persetujuan  KMB.  Akan tetapi apabila diperhatikan  jauh, gerakan tersebut bukan saja kuat, tetapi juga sehat. Secara  sosial dan politik, Indonesia akan berada dalam keadaan yang tidak  baik  jika  tidak  ada  perkembangan tersebut. Bagi kebanyakan  orang  Indonesia,  sistem  federal  dianggap  sebagai  warisan  kolonial sehingga harus segera diganti. Sistem  itu  dipandang  sebagai  alat  pengawasan  dan  peninggalan Belanda. Oleh  karena  itu,  sistem  federal  merupakan  halangan  bagi  tercapainya  kemerdekaan Indonesia yang lepas sama sekali dari Belanda. Dengan dasar pikiran itu,  maka  mempertahankan sistem federal berarti mempertahankan warisan penjajahan masa lampau yang tidak  disukai masyarakat.[i]
Meskipun demikian perjuangan kaum republiken untuk mewujudkan terbentuknya  sebuah negara kesatuan bukan merupakan pekerjaan yang mudah.  Pada  satu  sisi,  saat  itu  secara  resmi masih tegak berdiri sebuah negara yang secara  resmi berbentuk  negara  federal  lengkap  dengan alat-alat kenegaraannya. Dengan demikian, betapapun lemahnya pendukung sistem negara federal tersebut pasti masih ada di Indonesia. Oleh karena itu, perjuangan  untuk  mengembalikan  bentuk negara dari federal menjadi kesatuan harus dilakukan dengan cara yang benar agar tidak  dianggap sebagai pemberontakan kepada  pemerintah  yang  sah.  Pada  sisi  yang  lainnya,  saat  itu  tentara Belanda masih ada di Indonesia, lengkap dengan  persenjataannya.  Mereka  ini  merupakan pendukung kaum federalis. Dengan demikian,  kaum republiken  harus  juga  bersiap  menghadapi konflik dengan tentara Belanda  sebagai  sebuah  kesatuan  resmi  atau  paling  tidak  pada  oknum tentara Belanda.[ii]

Artikel sederhana ini hendak mengungkapkan  bagaimana  perkembangan  yang  terjadi  di Indonesia menjelang terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik  Indonesia.  Satu  hal  yang hendak  dicari  jawabannya  dalam  artikel  ini  adalah   bagaimana   hubungan   antara   kehadiran kekuatan asing dan perkembangan tata negara,  terutama  pada  masa  sekitar  K  M  B.  Selain  itu hendak dibahas mengenai kondisi yang menyebabkan negara federal hasil  K  M  B  dengan  cepat runtuh dan melebur ke dalam R I.

Kondisi Sosial - Politik di Indonesia Setelah K M B
Adanya halangan psikologis yang seperti itu, ternyata masih ditambah realitas politik  yang berkembang saat itu. Dalam negara Republik  Indonesia Serikat (RIS),  Republik  Indonesia  (R  I) yang sesungguhnya tidak lebih dari satu diantara 32 negara bagian yang ada, pada dasarnya masih tetap otonom. Kondisi itu terlihat karena secara administrasi R I tidak bergantung  kepada  R  I  S. Hal itu lebih diperparah lagi, dengan banyaknya pegawai negeri sipil dalam negara-negara bagian, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pasundan  yang lebih  mentaati  aturan-aturan  dari  Ibukota RI Yogyakarta dibandingkan terhadap Jakarta.  Keadaan itu seringkali menimbulkan  administrasi ganda yang membingungkan. Ada dua kelompok pegawai  negeri  sipil  yang  berusaha  mengatur teritorial yang sama dengan dua aturan yang sangat mungkin berbeda.
Fenomena itu merupakan manifestasi politik pada masa sebelumnya. Pembentukan negara- negara bagian di berbagai  wilayah  Indonesia  oleh  Belanda,  pada  dasarnya  eksistensinya  tidak pernah diakui oleh Pemerintah R I di Yogyakarta. Tindakan yang  kemudian  diambil  oleh Pemerintah R I adalah mendirikan pemerintahan  bayangan  di  negara-negara  bagian,  mulai  dari desa sampai ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Untuk menunjukkan eksistensi R  I  di  daerah  yang kemudian dikenal sebagai Bijenkomst  voor  Federaal  Overleg  (BFO)  ini,  dikirim  uang  O  R  I (Oeang Republik Indonesia). Dengan tindakan itu, maka secara ekonomis dan  politis,  R  I  masih eksis di wilayah B  F  O.[iii]  Faktor  lainnya  adalah prestise  R  I  yang  tinggi  karena  dianggap sebagai pemenang perang dan perjuangan kemerdekaan. Prestise  itu  semakin  meningkat  dengan terjaminnya law and order di  wilayah  R  I,  kelancaran  administrasi  pemerintahan,  dan  korupsi yang relatif tidak ada dibandingkan dengan negara-negara bagian lainnya.[iv]
Semua kondisi itu diperkuat dengan solidnya kaum republiken di tubuh pemerintahan  R  I S.  Mulai  dari  Presiden  R  I  S,  Soekarno   jelas   merupakan   seorang   republiken   yang   pasti mendukung gerakan kembalinya negara kesatuan.  Perdana  Menteri  Hatta  dan   kabinetnya  juga didominasi  oleh  kaum  republiken.  Oleh  karena   itu,   secara   politis   dan   adminitratif   kaum republiken sudah menguasai pemerintahan Negara R I S. Saat  itu,  dalam  susunan  kabinet  Hatta yang  dianggap  mewakili  kaum  federalis  hanya  lima  orang,  yaitu;  Anak  Agung  Gde  Agung sebagai menteri dalam negeri, Kosasih sebagai menteri sosial, Arnold Mononutu  sebagai  menteri penerangan, Sultan Hamid II dan Suparmo sebagai menteri tanpa portopolio. Akan  tetapi  apabila diperhatikan  lagi,   diketahui   bahwa   meskipun   Arnold   Monomutu   berasal   dari   B   F                                                                                                                          O, sesungguhnya dalam parlemen Negara Indonesia Timur (N I  T),  dia  merupakan  kelompok  pro- republiken. Dengan demikian, dia dipandang lebih republiken  daripada  federalis.[v]  Dari  semua anggota kabinet Hatta, yang sungguh-sungguh mendukung  bentuk  negara  feral  hanyalah  Sultan Hamid II dan Anak Agung Gde Agung.[vi]
Pada sisi yang lainnya terdapat ambisi politik yang kuat dan terus  dipelihara  dalam  tubuh Pemerintahan dan Negara R I untuk mengembalikan bentuk negara kesatuan di Indonesia. Hal  itu dapat diketahui dengan ditempatkannya usaha  untuk  meneruskan  perjuangan   mencapai  negara kesatuan  yang  meliputi  seluruh  Kepulauan  Indonesia  dalam  program  kabinet  Dr.  A.  Halim,

Perdana  Menteri  R  I.[vii]  Dorongan  semangat  yang  lebih  besar  datang  muncul   karena   dua kejadian. Pertama, ditariknya kekuatan militer Belanda di  negara  bagian  yang  tergabung  dalam BFO.  Kedua,  berkaitan  dengan  yang  pertama,  kondisi  tersenut  menyebabkan   dibebaskannya ribuan tahanan  politik  yang  sangat  pro-republiken  dari  berbagai  penjara.  Semua  kondisi   itu menyebabkan  kekuatan  gerakan  persatuan  menjadi  lebih  besar.  Gerakan  yang  menentangnya hanya muncul  di  tempat-temapt  di  mana  sejumlah  kesatuan  pasukan  kolonial  dan  Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) belum didemobilisasi.[viii]
Kuatnya gerakan persatuan itu kemudian semakin bertambah kuat  karena  mayoritas masyarakat negara bagian  juga  tidak  mendukung  pembentukan  negara-negara  bagian  tersebut. Dengan  demikian,  dapat dikatakan  bahwa  pembentukan  negara-negara   bagian   sangat   tidak memiliki dukungan   yang  kuat,  kecuali  dari  Belanda.  Oleh  karena  itu,  ketika  Belanda  mulai melepaskan kontrolnya  atas  negara-negara  bagian  maka  rakyat                                                                              negara  bagian  itu  bergerak menuntut untuk kembali kepada R I. Dengan kondisi  itu,  maka  kejatuhan  negara-negara  bagian tinggal menunggu waktu saja. Oleh karena itu wajar  apabila  di  berbagai  negara  bagian  muncul gerakan yang menuntut pembubaran pemerintah daerahnya atau negara bagiannya.  Gerakan semacam itu kemudian menuntut agar daerahnya digabungkan kepada R I.

Gerakan Pembubaran Negara Federal di Daerah
Negara bagian yang memelopori  pembubaran  pemerintahannya  adalah  Pasundan.  Tindakan  itu dilakukan bahkan sebelum Pemerintahan R I S resmi terbentuk dan berkuasa di Indonesia. Jadi  di Pasundan gerakan menentang bentuk  federal  sudah dilakukan  bahkan  ketika  negara  Indonesia belum resmi berbentuk  federal.  Kemunculan  gerakan  anti  negara  federal  dimulai  kuandengan adanya resolusi dari berbagai elemen masyarakat untuk menggabungkan wilayahnya dengan  R  I. Keadaan   itu   sebagian   besar   disebabkan   kurang   mampunya   Pemerintah   Pasundan   untuk memelihara keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Situasi itu  mendorong  adanya  resolusi  dari Indramayu yang diantaranya ditujukan kepada Presiden R I dan ketua Komite Nasional  Indonesia Pusat. Isi resolusi itu mendesak Pemerintah R I S  supaya  sebelum  pengkuan  kedaulatan  selekas mungkin mengubah status Jawa Barat menjadi daerah R I dengan cara menghapus Negara  Bagian Pasundan. Tindakan itu  dilakukan  supaya  keadaan  di  Jawa  Barat  aman  tentram.  Resolusi  itu muncul   berdasarkan   kejadian   di   desa-desa   yang   keamanannya   tidak   terjamin.                                                                                                                                               Hal    itu membuktikan bahwa Negara Bagian Pasundan tidak dapat menjamin keamanan  dan  ketentraman rakyatnya.[ix]
Kondisi itu kemudian meluas dengan keputusan kepala desa di Tasik Malaya  yang memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pasundan dan memilih bergabung dengan  R  I.  Lebih jauh lagi tindakan itu kemudian  didukung  oleh  sebelas  anggota  Dewan  Perwakilan  Kabupaten Tasikmalaya.[x] Dengan  demikian  peristiwa  ”pembelotan”  para  kepala  desa  itu  mendapatkan dukungan politis di  tingkat  pusat,  sehingga  mendapatkan  legitimasi  yang  kuat  secara  politik. Dukungan rakyat Jawa Barat terhadap gerakan penyatuan semakin  besar  ketika  terjadi  peristiwa Westerling di Bandung pada awal 1950.
Semua kondisi itu telah merusak kedudukan  dan  reputasi  kaum  federalis.  Apalagi  sejak peristiwa Westerling timbul keyakinan di kalangan masyarakat  bahwa  beberapa  pejabat  tertentu Pemerintah Pasundan telah  mengadakan  semacam  perjanjian  dengan  Westerling.  Tuduhan  itu menguat karena adanya kenyataan bahwa sejumlah anggota Pemerintahan Pasundan ternyata berkebangsaan Belanda. Mereka itu  kebanyakan  bertugas  di  bidang  militer.  Saat  itu,  sebagian perwira polisi dan Militer  dalam  tubuh  Pasundan  masih  dijabat  orang-orang  Belanda.  Mereka itulah yang kemudian membelot kepada Westerling.[xi]
Keadaan  itu  semakin  memperkuat  posisi   kaum   republiken   di   Parlemen   Pasundan.

Dimotori  oleh  Oli  Setiadi  dan  Dr.  Hasan  Nata  Begara  Cs,  mereka  ini  kemudian   mendesak parlemen agar Negara pasundan  dibubarkan  saja.[xii]  Dengan  kondisi  politik  yang  seperti  itu, akhirnya melalui Keputusan Parlemen  Pasundan  8  Maret  1950  dengan  suara  bulat  diputuskan untuk menggabungkan Negara  Pasundan  ke  dalam  Negara  R  I.[xiii]  Keputusan  itu  kemudian disahkan dengan lahirnya Surat Keputusan R I S No 113 tanggal 11 Maret 1950 yang menyatakan bahwa wilayah  Pasundan  termasuk  ke  dalam  Negara  R  I.  Pemerintah  R  I  S  di  Jawa  Barat kemudian diganti dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan gubernurnya yang  dijabat  oleh M. Sewaka, yang sebelumnya bertugas sebagai Komisaris R I S di Pasundan.[xiv]
Meskipun demikian, negara bagian pertama yang secara resmi bergabung kembali  dengan R I adalah Negara Bagian Sumatera Selatan. Pada tanggal 10  Februari  1950,  Dewan  Perwakilan Negara Bagian Sumatera Selatan mengadakan pemungutan suara  untuk  menyerahkan  kekuasaan negara bagian itu kepada Pemerintah R I S. Peristiwa itu kemudian menjadi efek  bola  salju  yang semakin lama semakin besar, karena  kejadian  di  Sumatera  Selatan  segera  diikuti  oleh  hampir semua negara bagian. Namun demikian ada  kecenderungan  untuk  lebih  memilih  membubarkan negara bagian  yang  bersangkutan  dan  kemudian  digabungkan  ke  dalam  Negara  Bagian  R  I. Dengan   demikian,   negara-negara   bagian   itu   tidak   membubarkan   diri   dan                                                                                                menyerahkan kekuasaannya kepada R I S, tetapi melebur ke dalam R I. Gerakan  itu  tidak  ditentang  oleh  para pemimpin R I S. Mereka justru  memberikan  kesempatan  kepada  gerakan  tersebut  untuk meneruskan tindakannya.
Fenomena itu disebabkan gelombang pasang semangat nasionalis yang  besar  di  kalangan anggota Senat R I S. Mereka  itu  percaya  bahwa  tujuan  dan  politik  masa  depan  mereka  harus disesuaikan dengan kondisi politik yang sedang  berkembang  saat  itu.  Oleh  karena  itu,  mereka mengikuti kemauan Majelis  Permusyawaratan[xv]  dan  Pemerintah  R  I  S  untuk  mengeluarkan suatu undang-undang darurat berdasarkan  Pasal  130  Kontitusi  R  I  S  yang  berisi  pembubaran negara-negara  bagian  dan  digabungkan  ke  dalam  R  I.  Undang-undang  itu  dikeluarkan   pada tanggal 7 Maret 1950. Dua hari kemudian,  diadakan  pemungutan  suara  bagi  persetujuan penggabungan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura ke dalam R I. Setelah itu,  berbagai  daerah dan negara bagian mengajukan permohonan untuk menggabungkan diri ke  dalam  R  I.  Sehingga pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara bagian yang masih  berdiri,  yaitu  Kalimantan  Barat, Negara Sumatera Timur (NST), Negara Indonesia Timur (NIT) dan R I yang wilayahnya  menjadi lebih luas.[xvi]
Setelah   Kalimantan   Barat   digabungkan   ke   dalam   R   I   melalui    sidang    Majelis Permusyawaratan pada tanggal 22 April 1950,[xvii] maka tinggal tiga negara bagian dalam R I  S, yaitu; R I, N S T, dan N I T. Masih kokohnya dua negara bagian terakhir itu disebabkan  beberapa faktor. Berhubungan dengan kokohnya N I T sebagai negara bagian dalam R I S,  terdapat  banyak hal bersifat kompleks yang telah membentuk aliansi anti  republik.  Aliansi  itu  terdiri  dari  kaum bangsawan Melayu, bagian terbesar raja-raja Simalungun, beberapa Kepala Suku Karo,  dan kebanyakan tokoh masyarakat  Cina.[xviii]  Mereka  itu  semua  merasa  kedudukannya  terancam dengan   berdirinya   negara   baru.   Perasaan   itu   muncul   karena   selama                                                                                                                    tahun-tahun    awal kemerdekaan terdapat pengalaman pahit berkaitan dengan tekanan kaum republik  terutama  kaum pemudanya yang sangat anti bangsawan. Oleh karena itu, bagi kaum bangsawan  Sumatera  Timur mereka mendambakan kembalinya  Pemerintah  Kolonial  Belanda  yang  mampu  menjamin kedudukan dan keselematannya. Dalam pandangan kaum bangswan Melayu, R I akan mengancam kelanjutan perlindungan dan keistimewaan  yang  mereka  nikmati  di  bawah  payung  pemerintah kolonial. Kondisi itu kemudian  ditambah  munculnya  kesadaran  oleh  para  petani  Melayu  pada akhir 1945 bahwa ada keinginan di kalangan mayoritas penduduk non-Melayu  untuk  menghapus

hak-hak istimewa kaum Melayu atas tanahnya.[xix] Sehingga mereka menyambut baik kalangancampur tangan Belanda di Sumatera Timur. Harapannya adalah dengan kembalinya Belanda,  maka  akan  pulih  kembali  hak-hak  adat  penduduk  Melayu  maupun   penduduk   asli lainnya. Selain itu, tentu saja akan terjaga segala kepentingannya.
Bersamaan dengan itu beberapa anggota pribumi  Pemerintah  Kolonial  yang  kolot, terutama beberapa tokoh Batak karena takut terhadap penguasaan Pemerintah Republik oleh kaum
”ekstrimis” bergeser lebih jauh ke dalam kubu kaum anti-republik.[xx] Perasaan  phobia  terhadap kehadiran R I juga merasuki kaum Cina di Sumatera Timur. Mereka itu telah menderita  di  bawah tekanan kaum ”ekstrimis” republik. Bentuk fisik yang  berbeda  dengan  penduduk  asli,  ditambah dengan kedudukan ekonomi yang lebih baik sehingga  sering  menimbulkan  kecemburuan  sosial. Semua itu  menjadikan  orang-orang  Cina  sebagai  sasaran  kekejaman  para  pemuda  ”pejuang”. Selama bulan-bulan awal revolusi sekelompok pemuda secara  teratur  merampoki  toko-toko  dan gudang-gudang milik orang Cina.[xxi] Sebagai jawabannya kemudian masyarakat Cina di  Medan mendirikan  kesatuan  Poh  An  Tui,  yaitu  pasukan  keamanan  Cina  yang  dipersenjatai  Inggris. Mereka ini meronda daerah pecinan di Medan, Binjai, dan Pemantang Siantar.  Kesatuan  tersebut bersama dengan pasukan Belanda turut serta mempersiapkan berdirinya  N  S  T  yang  disponsori Belanda dan bangsawan setempat.[xxii] Secara riil, kelompok masyarakat  yang  tergabung  dalam aliansi anti R I sesungguhnya hanya sepertiga saja dari jumlah seluruh pendukungnya.[xxiii] Akan tetapi dengan   adanya  perpecahan  antar  elit   dan   masyarakat   membuat   daerah   itu   mampu dimanfaatkan Belanda sebagai salah satu negara bagian dengan tokoh-tokoh  dan  pasukan  militer yang kuat dan gigih menentang keberadaan R I di wilayahnya.
Kombinasi dari semua faktor  itu  akhirnya  mendukung  lahirnya  aliansi  anti  republik  di Sumatera Timur. Keadaan itu membuat N S T masih berdiri hingga saat terakhir eksistensi R  I  S. Walaupun demikian,  tidak  berarti  rakyat  di  Sumatera  Timur  tidak  menghendaki  pembubaran negara bagiannya dan memilih bergabung dengan R I. Selama revolusi  fisik,  di  Sumatera  Timur bahkan muncul berbagai  macam  kelompok  bersenjata  yang  gigih  berjuang  melawan  Belanda. Meskipun kontrol pemerintah pusat terhadap mereka sangat lemah, bahkan dapat  dikatakan  tidak ada sama sekali.
N I T mampu bertahan hingga akhir karena beberapa faktor. Pertama, Belanda  sejak  awal sudah memilih  Indonesia  Timur  untuk  dijadikan  daerah  utama  yang  akan  bergabung  dengan sebuah negara federal Indonesia Serikat. Di samping itu, ada satu hal  yang  penting  yaitu;  secara militer  Belanda  aktif  di  kawasan  itu.  Belanda  sejak  lama   menjadikan   daerah   Ambon   dan Minahasa sebagai keanggotaan K N I  L.[xxiv]  Dengan  kondisi  itu,  tidak  heran  bila  Indonesia Timur menjadi daerah pertama yang dijadikan Belanda  sebagai  daerah  bagian  yang  akan bergabung ke dalam apa yang disebut Negara  Indonesia Serikat. Indonesia timur dapat seperti  itu karena Belanda mempunyai persiapan matang untuk kembali berkuasa di wilayah tersebut.
Kondisi itu disebabkan adanya dukungan kuat dari militer Australia yang  ditugasi  Sekutu untuk mengamankan kawasan tersebut terhadap Belanda. Oleh karena itu, para  pejabat  N  I  C  A (Netherlands  Indies  Civil Administration)  dengan  leluasa  dapat  masuk  ke  wilayah   Sulawesi dengan membonceng pasukan Sekutu, termasuk pasukan pelopor yang mendarat  di  Makassar  21
September 1945. Mereka itulah yang kemudian membebaskan semua tahanan Sekutu di  Sulawesi Selatan dan menempatkan  sekitar  3000  orang  Belanda  bekas  tahan  Jepang  kembali  ke Makassar.[xxv]                                     Keadaan itu memang berbeda  dengan  tindakan  pasukan  Inggris  di  Jawa yang tidak leluasa karena khawatir membahayakan keselamatan tahanan dan tawanan perang yang banyak jumlahnya. Pasukan Australia di Sulawesi relatif bebas untuk  berurusan  dengan  pasukan Jepang ataupun dengan bekas pejabat lokal.

Tujuan utama mereka adalah mendirikan  pemerintahan  yang  dapat  menjamin  ketertiban umum  dan  mendapatkan  beras   dari   daerah   pedalaman   bagi   kebutuhan   pangan   penduduk Makassar. Untuk itu mereka segera mengangkat para pejabat Belanda sebelum  P  D  II.  Beberapa diantaranya adalah  interniran  yang  baru  saja  dibebaskan  dari  kamp  tahanan  Jepang,  sebagai pejabat sementara pemerintahan sipil. Kondisi itu segera dipergunakan Belanda untuk membanjiri daerah-daerah yang  diduduki  Pasukan  Australia  dengan  pasukan  Belanda  dan  bekas  pegawai pamong praja (Corps Binneland Bestuur), seperti residen, asisten  residen,  kontrolir  atau  jabatan lainnya.[xxvi] Dengan demikian sesungguhnya tentara Australia telah bekerja  untuk  kepentingan Belanda.
Dukungan terang-terangan pasukan sekutu (Australia)  terhadap  Belanda  dapat  diketahui dari maklumat Panglima Tentara Australia di Makassar Brigadir Jendral Chilton pada  tanggal  29
Oktober  1945 yang isinya sangat menekan gerakan pemuda pendukung proklamasi kemerdekaan. Salah  satu  isinya  adalah  melarang  orang  memakai  seragam  militer  atau  uniform  lain,  selain anggota pasukan Sekutu atau  polisi.  Selain  itu,  dalam  maklumat  itu  juga  melarang  penduduk untuk mengikuti latihan militer, memakai atau mempunyai segala macam senajat  api  dan  senjata tajam, mengadakan pawai atau pertunjukan, dan sebagainya. Lebih lanjut Jendral Chilton   bahkan telah melarang Gubernur Sulawesi saat itu Dr.  G.S.S.J.  Ratulangi  untuk  menjalankan  tugasnya, karena pemerintaha sipil telah dijalankan oleh NICA dengan  tanggung  jawab   dan  perlindungan tentara Australia yang bertindak sebagai kesatuan Sekutu. Apabila perintah itu dilanggar  oleh  Dr. G.S.S.J. Ratulangi maka terhadapnya akan diambil tindakan penahanan.[xxvii]
Posisi Belanda semakin kuat dengan diijinkannya Pemerintah Belanda  menempatkan seorang berpangkat Chief Commanding Officer NICA (Chief Co-NICA) di  Morotai  mendampingi Panglima Tertinggi Tentara Australia. Chief Co-NICA ini mempunyai wewenang seluruh  wilayah Indonesia Timur dan Kalimantan (kecuali Bali). Selain itu  dia  juga  membawahi  semua  petugas NICA yang ada di Indonesia Timur. Dengan kesempatan yang diberikan  oleh  Pasukan  Australia, Belanda dalam waktu singkat berhasil mengembalikan fungsi aparat pemerintahannya  di  wilayah Indonesia bagian timur. Semuanya itu jelas mempunyai  pengaruh  atas  perkembangan  politik  di wilayah yang bersangkutan. Oleh  karena  dengan  persiapan  matang  itulah,  maka  secara  politis wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku yang kemudian  disebut  sebagai  Indonesia  Timur menjadi salah satu daerah yang secara politis cukup  kuat  untuk  menjadi  semacam  daerah  yang berdiri sendiri terpisah dengan Pemerintah R I di Yogyakarta. Hal itulah yang menyebabkan N I T dapat bertahan lama menjadi daerah bagian dalam wilayah federal R I S.
Semua kondisi itu kemudian ditambah  dengan  adanya  dukungan  yang  datang  dari  para aristokrat, terutama mereka yang telah diangkat sebagai pengganti para kepala dan penguasa  yang pro-RI.[xxviii] Sehingga kedudukannya sangat tergantung kepada keberadaan dan  dukungan Belanda. Mereka itu biasanya adalah para bekas Binneland Bestuur (pamong praja) yang  dulunya bekerja untuk  Belanda  pada  masa  kolonial.  Oleh  karena  itu  wajar  apabila  kemudian  bekerja kembali untuk tuannya itu.
Bersama-sama dengan polisi lokal yang dipekerjakan di bawah  kekuasaan  dan   tanggung jawab Pemerintah Indonesia Timur melalui SK Letnan Gubernur Jendral 14 Maret 1946 No 3  dan SK Komisariat Pemerintahan Umum untuk Borneo dan Timur Besar tanggal  14  Maret  1946  No ARC 1/9/43 dan No ARC 1/9/7. Kondisi itu berarti semua residen, asisten residen,  kontrolir,  dan pamong praja Indonesia seperti bestuur assistant, menteri polisi dan pegawai administrasi lainnya, demikian juga dengan pegawai kepolisian dari Hoofkomisaris sampi pangkat terendah  yang dulunya dipekerjakan di wilayah Indonesia Timur  mulai  saat  itu  ada  di  bawah  kekuasaan  dan tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri N I T.[xxix]

Dengan semua latar belakang yang seperti itu wajar apabila N I T mampu bertahan  hingga akhir dalam tubuh R  I  S.  Meskipun  demikian  dalam  wilayah  N  I  T  dapat  pula  diketemukan gerakan perlawanan terhadap Belanda yang sangat keras, bahkan tidak kalah kerasnya dibandingkan yang  ada  di  Jawa.  Akan  tetapi,  karena  kuatnya  militer  Belanda  di  sana,  maka gerakan kaum  republiken  dapat  diatasi  oleh  Belanda  dan  para  kolaboratirnya.  Pada  akhirnya ketika militer Belanda  ditarik  dari  wilayah  itu,  maka  kaum  federalis  mulai  menyadari  bahwa mereka tidak akan mampu  bertahan  dari  arus  republiken.  Hal  itu  semakin  jelas  ketika  ribuan tahanan politik yang semuanya kaum republiken dibebaskan, maka tuntutan terhadap  pembibaran N I T dan penggabungan ke dalam R I semakin nyata dan kuat.
Sehubungan dengan semakin  kuatnya  gerakan  pro-republik,  maka  tanggapan  yang diberikan oleh elit N I T ada  dua  cara.  Pertama,  mereka  berusaha  mencegah  gerakan  tersebut. Akan tetapi ketika gerakan itu  semakin  kuat,  maka  mereka  berusaha  memisahkan  diri  dengan membentuk negara terpisah dari  Indonesia.  Gerakan  ini  dipimpin  oleh  Dr.  Soumokil  cs  yang berusaha mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS).  Sedangkan  yang  lainnya  berusha  untuk meleburkan diri ke dalam tuntutan masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden N  I  T Sukawati, Menteri Dalam Negeri Daeng Passewang dan lainnya yang ada dalam  kabinet  terakhir N I T. Sesungguhnya kabinet terakhir N I T berisi tokoh-tokoh  yang  siap  meleburkan  N  I  T  ke dalam R I.[xxx] Oleh karena itu proses perubahan R I S menjadi  negara  kesatuan  dapat  berjalan tanpa hambatan dalam tataran politis.

Peleburan Federal Menjadi Negara Kesatuan
Dengan semua perkembangan politik di Indonesia itu memaksa para elit yang ada di N I T  dan  N S T untuk berunding dengan pemerintah R I S. Oleh karena itu, dari tanggal 3 sampai 5 Mei  1950 diadakan perundingan antara PM R I S M. Hatta, Presiden  N  I  T  Sukawati,  dan  PM   NST  Dr. Mansyur. Hasilnya adalah disetujuinya pembentukan  suatu  negara  kesatuan.  Akan  tetapi,  pada tanggal 13 Mei  1950  Dewan  Sumatera  Timur  menentang  keputusan  itu.  Meskipun  demikian, Dewan Sumatera  Timur  masih  bersedia  menerima  pembubaran  R  I  S  dengan  syarat  N  S  T dileburkan ke dalam R I S bukan ke dalam R I. Walaupun ada dukungan kuat dari  sebagian  besar penduduk Sumatera Timur, tetapi  PM  Hatta  mendukung  Dewan  N  S  T.  Keputusan  Hatta  itu didasari situasi di Sumatera Timur yang masih rapuh untuk bergabung dengan R I.  Hatta  berpikir bahwa apabila  diambil  jalan  penggabungan  N  S  T  langsung  ke  dalam  R  I,  mungkin   dapat mendorong para bekas K N I L yang saat itu masih menjadi  anggota  batalyon  keamanan  N  S  T untuk memberontak sebagaimana tindakan yang diambil teman-temannya di Ambon.
Sehubungan dengan hasil konferensi antara Hatta, Mansyur  dan  Sukawati,  maka  sebagai tindak lanjut diadakan perundingan antara PM-R I S Hatta yang mewakili N I T beserta dengan  N S  T  di  satu pihak  dan  PM-RI  A.  Halim  pada  pihak  lainnya.   Hasilnya   adalah   tercapainya persetujuan pada tanggal 19 Mei 1950 diantara kedua belah  pihak  untuk  membentuk  N  K  R  I. Persoalannya adalah bagaimana  cara  untuk  membentuk  sebuah  negara  kesatuan,  sebagaimana yang dikenhendaki seluruh rakyat Indonesia.
Pilihan yang diambil para pemimpin Indonesia adalah dengan cara mengubah Konstitusi R I S. Pilihan ini diambil karena apabila semua negara bagian melebur  ke  dalam  R  I  S  (R  I  akan menjadi satu-satunya negara bagian dari R I S, sehingga R I S akhirnya terlikuidasi) akan menimbulkan  berbagai  macam  kesulitan.  Pertama,  akan  timbul  masalah  dengan   para   bekas anggota K N I L. Di samping itu ada alasan penting  lainnya  menyangkut  hubungan  dengan  luar negeri.  Jika seluruh  negara  bagian  bergabung   dengan   R   I,   maka   akan   timbul   kesulitan.

Persoalannya adalah R I yang masih eksis adalah R I sebagai negara bagian R  I  S(sebagai  akibat persetujuan KMB). Padahal yang menyelenggarakan hubungan luar negeri adalah R I S yang telah dilikuidasi. Dengan perkataan lain proses kembali dari R I S ke N  K  R  I  melalui  cra  ini  berarti peleburan negara  yang  telah  mendapat  pengakuan internasional  dengan  memunculkan  sebuah negara  baru. Oleh karena itu agar pengakuan dunia internasional  tetap  terpelihara  secarayuridis, maka pembubaran R I S harus dihindari.
Satu pilihan cerdik akhirnya diambil, yaitu dengan jalan mengubah konstitusi  R  I  S.  Jadi secara yuridis N  K  R  I  adalah  perubahan  dari  R  I  S  sebagai  negara  federal  menjadi  negara berbentuk kesatuan. Melalui cara itu terhindar permasalahan berkaitan dengan dunia internasional. Apabila R I S dibubarkan dan digantikan oleh R I sebagai negara bagian dalam tubuh R I S,  maka negara baru  yang  muncul  itu  tidak  dapat  menjalankan  hubungan  internasional  secara  yuridis formal. Hal itu disebabkan R I sebagai  negara  bagian  tidak  dapat  menyelenggarakan  hubungan internasional. Akan lain persoalannya apabila  R  I  S  berganti  menjadi  negara  kesatuan.  Secara yuridis tidak akan  ada  permasalahan  dengan  dunia  internasional,  karena  yang  berubah  hanya konstitusinya saja, bukan negaranya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa bahwa  perkembangan  masalah  ketatanegaraan Indonesia masa revolusi sangat erat kaitannya dengan kehadiran kekuatan  asing.  Indonesia mengalami perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi negara federal bukan  saja  disebabkan oleh faktor dalam negeri, tetapi ada hubungannya dengan kehadiran Belanda dan Australia. Kuatnya keinginan Belanda  sebagai  negara  koloni  untuk  mempertahankan  pengaruh  dan kekuasaannya di Indonesia  membuat  negara  ini  sempat  mengalami  perubahan  bentuk  negara. Selain itu, masih ada satu  faktor  lagi  yaitu  adanya  sebagian  kecil  masyarakat  Indonesia  yang merasa lebih nyaman dan tenang di bawah payung kolonial Belanda membuat  ide  negara  federal dapat hidup dan bertahan selama masa sekitar K M B. Kehadiran pasukan Belanda dengan kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan militer Indonsia, yang  baru  terdiri  dari  pemuda pejuang menjadikan pendukung ide negara federal di beberapa tempat berada di  atas  angin.  Oleh karena itulah, negara federal dalam bentuk R I S sempat terwujud melalui KMB, meskipun  hanya seumur jagung.
Terjadinya perubahan dari negara federal menjadi negara  kesatuan  tidak  dapat  disangkal disebabkan dukungan politik dari masyarakat Indonesia terhadap ide negara federal sesungguhnya sangat lemah. Ide negara federal muncul dari ambisi politik  orang-orang  Belanda  yang  agaknya takut negerinya tidak lagi mempunyai peran di  Asia.  Oleh  karena  itulah  ketika  masalah kemerdekaan Indonesia sudah tidak dapat  ditawar  lagi,  mereka  memperkenalkan  ide  mengenai pembentukan negara federal. Akan tetapi, ide ide hanya didukung oleh sebagain kecil  masyarakat Indonesia, yaitu mereka yang  pernah  merasakan  nikmatnya  hidup  dalam  lindungan  kekuasaan kolonial Belanda.  Hal  itu  terbutki  ketika  sebagian  besar  pasukan  Belanda  mulai  ditarik  dari Indonesia. Bersamaan dengan itu dibebaskannya tahanan politik yang sebagaian besar  merupakan elit politik pro-republik membuat  desakan  masyarakat  untuk  mengganti  negara  federal  kepada bentuk  negara  kesatuan  semakin   kuat.   Dengan   demikian   jatuhnya   negara   federal   tinggal menunggu waktu setelah situasi politik di Indonesia benar-benar berubah.

Oleh : Haryono Rinardi
(Jurusan Sejarah UNDIP)




Bagikan

Jangan lewatkan

Proses Perubahan Negara Republik Indonesia Serikat Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.