Sabda Raja Sri Sultan Hamengkubuana X pada Kamis 30 April lalu menuai respons di tataran masyarakat. Beragam pendapat muncul dari rakyat yang tetap berharap agar Yogyakarta tetap istimewa.
Salah satu respons datang dari Retno Wulan. Ibu rumah tangga itu tidak sependapat jika penerus tahta Sultan Yogya diampu perempuan.
"Kalau saya tidak setuju karena yang harus menjadi raja itu laki-laki. Kalau sang raja tidak memiliki anak laki-laki bisa dialihkan ke adiknya," ujarnya.
Pendapat serupa muncul dari Mujiono. Laki laki yang bekerja sebagai tukang becak itu tak mempermasalahkan jika Sultan akhirnya memilih putri sulungnya sebagai putri mahkota.
"Kalau bisa, ya, laki-laki. Seorang pemimpin bagi seorang muslim haruslah laki laki. Tapi kalau keputusannya perempuan, ya, setuju setuju saja. Asal bisa memasyarakat. Jadi rakyatnya bisa ayem tentram dan makmur."
Pendapat Mujiono diamini temannya Sulistyono yang juga seorang tukang becak. "Ya, bagi saya sebetulnya bagus dipimpin laki-laki. Bilamana itu jadi keputusan Keraton, ya, yang penting merakyat saja."
Selasa, 5 Mei 2015 kemarin, Sultan Hamengku Buwono X menunjuk putri sulungnya Gusti Kanjeng Ratu Pembayun sebagai Putri Mahkota bergelar GKR Mangkubumi. Keputusan tersebut diambil setelah sebelumnya Sultan mengucapkan Sabda Raja yang memuat lima hal.
Lima Sabda Raja Yogyakarta antara lain mengubah penyebutan Buwono menjadi Bawono, menghapus gelar Khalifatullah yang melekat pada gelar Sultan, mengganti penyebtan kaping sedasa menjadi kaping sepuluh, mengubah perjanjian pendiri Mataram oleh ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan dan terakhir menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.
Sejumlah kerabat Keraton menilai Sabda Raja menabrak paugeran Kraton. GBPH Yudho Ningrat misalnya yang menganggap Sabda Raja cacat dan batal demi hukum.
Namun, tak demikian dengan pendapat masyarakat Yogyakarta. Salah seorang warga, Panud mengaku manut atas apa yang sudah menjadi keputusan rajanya.
"Saya setuju saja. Yang penting masih kerajaan. Yang penting Yogya tetep istimewa. Terus pemimpinnya raja atau ratu. Karena untuk menciptakan pemimpin tidak harus dengan pemilihan rakyat. Jadi masyarakatnya lebih tentrem, itu prinsip saya," ujarnya.
Pun demikian dengan Yuliantini. "Setuju. Wanita kalo memimpin lebih matang. Emansipasi wanita juga banyak enggak harus di dapur."
Nuryanto, antv/tvOne.
Bagikan
Bagaimana jika wanita jadi Raja?
4/
5
Oleh
Unknown