Rabu, 15 Februari 2017

Penolakan terhadap Reklamasi Teluk Jakarta


Reklamasi pantai utara Jakarta terancam setop. Ancaman terhadap kelanjutan rencana yang sudah digagas 21 tahun lalu itu menguat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap basah Ketua Komisi Pembangunan DPRD DKI Jakarta, M Sanusi menerima rasuah pada akhir Maret lalu. Dua orang dari pengembang Agung Podomoro juga ditetapkan jadi tersangka. Komisi juga mencegah dua orang dari swasta bepergian.

Proyek reklamasi pun teraduk dengan berbagai kasus hukum. Bagaimana sebenarnya seluk-beluk reklamasi itu? Berikut ringkasan ihwal reklamasi di pantai utara Jakarta ini.

Apa itu reklamasi?

Reklamasi adalah pengurukan kawasan air dengan tanah hingga menjadi daratan yang bisa digunakan sebagai lahan untuk berbagai keperluan, seperti kompleks perumahan, perkantoran, atau tempat wisata.

Negara mana yang pernah melakukan reklamasi pantai?

Dubai adalah salah satu negara yang sukses dengan reklamasi. Mereka membangun Palm Island dan World Island dengan menguruk lahan di pantai. Jepang juga berhasil membangun bandara Haneda di atas lahan reklamasi. Dua landasan pesawat di bandara Tokyo ini adalah hasil reklamasi pada 2000.

Singapura juga berhasil menambah luas lahannya dengan reklamasi. Bahkan mereka akan kembali mereklamasi pantai timur negara pulau itu. Reklamasi seluas 1.500 hektare ini disebut sebagai reklamasi terbesar dalam sejarah Singapura. Rencananya, lahan itu akan digunakan sebagai tempat tinggal buat 200 ribu penduduk.

Apa bahaya reklamasi?

Ada harga yang harus dibayar dengan reklamasi. Di Indonesia, setidaknya ada empat wilayah yang mau direklamasi. Pantai Losari di Makassar, Teluk Benoa di Bali, Teluk Talisse di Palu dan Pantai Utara di Jakarta.

Reklamasi berpotensi merusak ekosistem laut dan memicu abrasi. Manajer Penanganan Bencana Wahana Lingkungan Indonesia Mukri Priyatna mengatakan wilayah ekosistem di Teluk Jakarta akan hancur bila proyek reklamasi tetap dilanjutkan.

Reklamasi juga bisa memperburuk pencemaran lingkungan. Reklamasi juga membuat pulau lain tenggelam karena lebih rendah. Infrastruktur yang sudah tertanam di kawasan yang akan direklamasi pun bisa terganggu.

PLN mengingatkan bahaya reklamasi di pantai utara Jakarta bisa mengganggu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang, PLTU Priok dan PLTGU Muara Tawar yang ketiganya menjadi pemasok utama listrik di Jakarta dan sekitarnya.

Bagaimana sejarah reklamasi di Jakarta?

Reklamasi di bagian utara Jakarta sudah mulai pada 1980-an. PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara.

Dalam catatan Kompas, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi pada 1981.

Hutan bakau Kapuk yang direklamasi sepuluh tahun kemudian untuk pemukiman mewah yang kini disebut Pantai Indah Kapuk. Jakarta mereklamasi buat kepentingan industri yakni Kawasan Berikat Marunda pada 1995.

Gubernur DKI Jakarta waktu itu Wiyogo Atmodarminto menyatakan, reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi.

Pada 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan yang menjadi dasar reklamasi, Keppres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Dua tahun kemudian, Bappenas menggeluarkan Keputusan Ketua Bappenas No. KEP.920/KET/10/1997 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta.

Tahun 2010, terbentuk Persetujuan KLHS Teluk Jakarta oleh Kementerian LH dan disepakati oleh tiga Provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Pada 2003, Kementerian Lingkungan Hidup memutuskan proyek reklamasi ini tak layak.

Pada 2011, para pengembang di calon lahan reklamasi memenangkan gugatan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Sejak 2012, proyek ini berjalan lancar.

Untuk apa reklamasi Jakarta ini?

Ada 17 pulau yang akan dibangun, mulai dari pulau A hingga Q. Tiga kawasan akan membagi pulau ini Kawasan barat untuk pemukiman dan wisata. Kawasan tengah untuk perdagangan jasa dan komersial. Sedang kawasan timur untuk distribusi barang, pelabuhan, dan pergudangan.


© Antyo /Beritagar.id
Menurut data Badan Perencana Pembangunan Daerah DKI Jakarta yang dilansir Kompas.com, ada 9 perusahan pengembang properti mendapat bagian pembangunan di lahan reklamasi.

1. PT Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda

2. PT Pelindo II

3. PT Manggala Krida Yudha

4. PT Pembangunan Jaya Ancol

5. PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu)

6. PT Jaladri Eka Pasti

7. PT Taman Harapan Indah

8. PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan Agung Podomoro)

9. PT Jakarta Propertindo.

Proyek reklamasi ini dinilai membahayakan dan merugikan oleh pegiat lingkungan.

Kalau membahayakan, kenapa tak digugat secara hukum?

Proyek reklamasi sudah keluar masuk meja hijau. Pada 2003, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menerbitkan keputusan Keputusan Menteri No. 14/2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Isinya menentang keputusan reklamasi.

Keputusan Nabiel ditentang sejumlah pengusaha yang mendapat hak bagian dalam reklamasi. Mereka mengugat ke PTUN dan PT TUN Jakarta. Hasilnya, mereka menang. Tapi Menteri Lingkungan Hidup tetap melawan.

Pada Pada 28 Juli 2008, lewat sidang kasasi, MA memenangkan Kementerian. Tapi para pengusaha itu mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Hasilnya, pada 24 Maret 2011, majelis hakim PK yang diketuai Ahmad Sukardja, memenangkan para pengusaha.

Proyek ini kembali berjalan saat Jakarta dipimpin Gubernur Fauzi Bowo. Pada 2012, Gubernur Fauzi Bowo mengeluarkan Pergub No. 121/2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta

Kenapa Ahok tak menghentikan reklamasi?

Ahok menyatakan mau membatalkan reklamasi tapi tak bisa. Ia juga mau ambil alih tapi juga tak bisa. "Jadi saya mintai uang saja," kata dia di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, Senin (4/4). Ahok menilai, wilayah pesisir di Jakarta sudah rusak. Satu-satunya cara memperbaikinya dengan reklamasi.


Salah di mananya reklamasi?
© Beritagar ID
Siapa yang berwenang memutuskan reklamasi?

Dalam sidang Peninjauan Kembali, pertimbangan majelis hakim memenangkan para pengusaha adalah perubahan dan penghentian reklamasi harus dengan Keputusan Presiden. Bukan dengan Keputusan Menteri.

Pihak yang berwenang menghentikan dan meneruskan reklamasi adalah presiden. Karena, sejak awal proyek ini berbasis pada Keputusan Presiden. Gubernur, tak bisa membatalkan keputusan presiden.

Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan, urusan reklamasi itu kewenangan pusat. Pramono mengatakan kewenangan tersebut antara lain sesuai dengan Keppres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Selain itu, ada Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur serta Peraturan Presiden No. 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Lalu korupsinya. Bagaimana celahnya?

Karena tak bisa menghentikan reklamasi, Ahok ingin menaikkan pungutan dari para pengembang. Pungutan ini akan masuk ke kas daerah. Peraturan Daerah No. 8/1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta, dinilai tidak menguntungkan pemerintah. Kewajiban pengembang reklamasi untuk lahan fasos (fasilitas sosial) fasum (fasilitas umum) di pulau yang mereka bangun, hanya 5 persen.

Perda yang merupakan turunan dari Keputusan Presiden No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta itu, ingin diubah. Nah, saat ini ada rancangan perda yang sedang dibahas di DPRD DKI Jakarta dalam Raperda tentang reklamasi. Pemerintah DKI Jakarta ingin kontribusinya sebesar 15 persen. Namun DPRD DKI ingin angkanya 5 persen.

Di tengah pembahasan ini, KPK mencokok M Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta. Dia tertangkap tangan menerima duit sebesar Rp1,14 miliar dari perusahaan Agung Podomoro, induk dari PT Muara Wisesa Samudera.

Duit ini diduga b erhubungan dengan pembahasan Raperda Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan revisi Perda No. 8/1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta.

Penolakan Reklamasi


 Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) lakukan aksi penolakan reklamasi Teluk Jakarta di Car Free Day (CFD), Bundaran Hotel Indonesia, Minggu (11/9).
Aksi itu diikuti mahasiswa dari sejumlah BEM universitas di Indonesia, mulai dari BEM Universitas Indonesia, BEM Universitas Negeri Jakarta, BEM Politeknik Negeri Jakarta, BEM STEI SEBI, dan lainnya.
Perwakilan BEM se-Jabodetabek, Ihsan Munawar (20), mengungkapkan, aksi ini untuk mencerdaskan masyarakat tentang reklamasi Teluk Jakarta.
Menurutnya, reklamasi tidak memiliki dampak positif bagi masyarakat sekitar ataupun masyarakat Jakarta.
"Katanya ada untuk peningkatan ekonomi, tapi ekonomi siapa? Masyarakat sekitar atau pemilik modal? Jelas bagi pemilik modal," kata mahasiswa dari STIE SEBI di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (11/9).
Tudingan Ihsan, masyarakat sekitar reklamasi Teluk Jakarta kehilangan mata pencaharian.
Pasalnya, mereka yang umumnya berprofesi sebagai nelayan, kesulitan dalam mencari ikan. Kondisi ini jelas membuat perekonomian masyarakat sekitar menurun.
Sedangkan, bila reklamasi dilanjutkan, pemodal akan tetap untung dengan membuat sejumlah bangunan di pulau reklamasi.
"Reklamasi Teluk Jakarta tak ada kepentingan dan manfaat bagi rakyat Ibu Kota," tegas Ihsan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya menegaskan bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta tak ada masalah. Khusus reklamasi di Pulau G, Luhut menegaskan akan tetap dilanjutkan.
Proyek tersebut sempat dihentikan Rizal Ramli, Menko Kemaritiman sebelum Luhut, pada pertengahan tahun lalu.
Berdasarkan hasil evaluasi dan pembahasan di kementeriannya dalam sebulan terakhir, kata Luhut, proyek reklamasi tersebut tidak bermasalah. Selain itu, tak ada dampak yang membahayakan, baik dari aspek hukum maupun lingkungan. (Kompas.com)

Greenpeace Tegaskan Tolak Reklamasi Teluk Jakarta
Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Winda Destiana Putri
Antara/Andika Wahyu Foto udara suasana proyek pembangunan reklamasi Teluk Jakarta di Pantai Utara Jakarta, Minggu (28/2).
Foto udara suasana proyek pembangunan reklamasi Teluk Jakarta di Pantai Utara Jakarta, Minggu (28/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace Indonesia menegaskan kembali sikapnya menolak berbagai rencana reklamasi pantai di Indonesia, termasuk di Teluk Jakarta. Pasalnya alih-alih membawa manfaat, reklamasi pantai dinilai justru akan menimbulkan masalah dan bencana ekologis baru, serta tidak menghormati sejumlah norma hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pernyataan ini dikeluarkan menyusul mantan aktivis Greenpeace, Emmy Hafild, yang kini menjadi pendukung salah satu calon gubernur Jakarta, membuat pernyataan terbuka mendukung reklamasi Teluk Jakarta. "Reklamasi bukan solusi. Bahkan malah akan menimbulkan masalah baru," ujar Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam keterangan tertulis, semalam. 

Salah satunya, kata dia, dalah peningkatan secara drastis kadar polusi air Teluk Jakarta, karena adanya 17 pulau buatan akan mengurangi secara signifikan kecepatan arus dan volume air Teluk Jakarta. Alhasil, kemampuan cuci alami air Teluk Jakarta terhadap berbagai polutan akan meningkat secara drastis pula. Selain itu reklamasi akan menyebabkan kerusakan ekologis di daerah asal pasir yang dipakai untuk pembentukan 17 pulau buatan tersebut.

Greenpeace Indonesia mencermati seluruh perdebatan intelektual, serta dampak sosial ekologis yang sudah dan akan terjadi terhadap masyarakat pesisir Teluk Jakarta. Menurut Leonard, dari seluruh argumen yang dikemukakan pihak pendukung reklamasi, tidak ada yang dapat meyakinkan bahwa reklamasi dapat menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan di Jakarta seperti penurunan (amblesnya) muka tanah, banjir rob, penghisapan air tanah secara masif, dan pencemaran kronis terhadap sungai-sungai di Jakarta, dan terhadap Teluk Jakarta itu sendiri.

"Pembuatan pulau-pulau reklamasi, yang terutama ditujukan bagi hunian dan kegiatan bisnis kelas menengah atas diperkirakan akan menyebabkan peminggiran total kepada masyarakat nelayan miskin Teluk Jakarta dan secara masif akan memperlebar ketimpangan sosial ekonomi di Jakarta," ujar Leonard. 

Greenpeace Indonesia berpendapat bahwa berbagai persoalan lingkungan Jakarta di atas memerlukan solusi yang komprehensif, dari hulu ke hilir, dari perubahan kebijakan pemerintah yang signifikan sampai perubahan perilaku masyarakat terhadap lingkungannya secara radikal, dan melibatkan semua pemangku kepentingan. "Tidak mungkin semua persoalan tersebut diselesaikan hanya di Teluk Jakarta dengan kombinasi proyek reklamasi dan giant sea wall," ujar Leonard.

Leonard menyebut pernyataan Emmy Hafild sama sekali tidak mewakili dan tidak sejalan dengan posisi Greenpeace Indonesia. Pihaknya mendesak pemerintah untuk menghentikan kelanjutan proyek reklamasi Teluk Jakarta, dan juga reklamasi Teluk Benoa di Bali.

"Kami juga menolak upaya kriminalisasi terhadap para aktivis antireklamasi, seperti yang terjadi di Teluk Benoa dalam beberapa hari terakhir ini, dan akan terus bersolidaritas dengan seluruh elemen masyarakat yang menolak reklamasi. Pemerintah harus berani bersikap dan menghentikan upaya privatisasi ruang pesisir,” ujar Leonard.


Bagikan

Jangan lewatkan

Penolakan terhadap Reklamasi Teluk Jakarta
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.